Minggu, 13 Maret 2011

Puisi : Ayah Lupa

Ayah Lupa

Dengarkan putraku:
Ayah mengatakan ini ketika kau terbaring tidur
dengan satu tangan kecilmu terkepal di bawah pipi dan ikal rambut pirangmu melekat pada dahimu yang basah.
Ayah menyelinap ke kamarmu seorang diri.
Beberapa menit sebelumnya,
ketika ayah sedang duduk membaca makalah di ruang kerja,
sebuah gelombang rasa sesal yang menyesakkan menguasai ayah.
Dengan rasa bersalah ayah menghampirimu di sisi tempat tidurmu.
Inilah yang ayah pikirkan, putraku:
Ayah telah berlaku tidak adil terhadapmu.
Ayah menghukummu karena karena kau tidak membersihkan sepatumu.
Ayah marah-marah ketika kau melemparkan barang-barang milikmu ke lantai.



Saat sarapan pagi pun ayah menemukan kesalahanmu.
Kau menumpahkan makanan dan minuman.
Kau menelan makanan dengan rakus.
Kau menempatkan siku-sikumu di atas meja.
Kau terlalu tebal melapisi rotimu dengan mentega.
Dan ketika kau pergi bermain dan ayah berangkat mengejar kereta api,
kau menoleh dan melambaikan tanganmu sambil berkata,
"Kembali nanti, Ayah!" dan ayah mengerutkan dahi,
lalu menjawab: "Busungkan dadamu!"

Lalu semua itu terulang kembali pada sore harinya.
Ketika ayah muncul di ujung jalan,
ayah mendapatimu sedang berlutut sambil bermain kelereng.
Kaos kakimu penuh lubang.
Ayah membuatmu malu di hadapan teman-temanmu dengan
menyuruhmu berjalan di depan ayah sembari masuk ke rumah.
Kaos kaki harganya mahal dan jika kau harus membelinya sendiri,
kau akan lebih berhati-hati.
Bayangkan saja, putraku, dari seorang ayah!


Masih ingatkah kau, kemudian,
ketika ayah sedang membaca di ruang kerja,
bagaimana kau masuk ke ruang itu dengan takut-takut
dan pandangan mata yang tertekan?
Ketika ayah menengadah dari makalah yang sedang ayah baca,
tidak sabar karena diganggu,
kau berdiri ragu di ambang pintu.
"Mau apa kau?" bentak Ayah.


Kau tidak berkata apa-apa, tetapi berlari melompat dengan galau dan
merangkulkan kedua lenganmu di leher ayah sambil mencium ayah,
dan kedua lenganmu yang mungil merangkul penuh kemesraan
yang telah Tuhan semaikan di dalam hatimu tanpa mudah layu.
Lalu kau menghilang, cepat-cepat menaiki tangga.


Nah, putraku,
tidak lama kemudian makalah ayah terlepas jatuh dari tangan dan
suatu ketakutan yang sangat menyesakkan meliputi ayah.
Apa penyebab kebiasaan di dalam diri ayah,
yang menjadikan ayah seperti ini?
Kebiasaan untuk mencari kesalahan, untuk memberi peringatan---
inilah balasan Ayah kepadamu sebagai seorang anak.
Bukannya ayah tidak mencintaimu,
tapi ayah terlalu banyak berharap darimu.
Ayah menghukummu dengan tolak ukur sewaktu ayah masih kecil.


Dan ternyata ada begitu banyak hal yang baik,
indah, dan benar di dalam tabiatmu.
Hati mungilmu sebenarnya sama besarnya dengan fajar yang menyingsing
di atas bukit-bukit luas.
Ini kau tunjukkan melalui tindakanmu yang spontan sewaktu
kau merangkul dan mencium ayah sebagai tanda selamat malam.
Ayah tidak perduli akan apa pun lagi malam ini,
putraku, Ayah menghampirimu di sisi tempat tidurmu dalam kegelapan,
dan ayah berlutut di sampingmu,
malu!


Sebuah penyesalan yang menyesakkan;
Ayah tahu kau belum mampu memahami hal-hal
seperti ini meski ayah coba jelaskan bila kau bangun nanti.
Tetapi, esok ayah akan menjadi seorang ayah yang semestinya!
Ayah akan menjadi sahabat dekatmu,
menderita bila kau menderita,
dan tertawa bila kau tertawa.
Ayah akan menggigit lidah bila kata-kata yang penuh
ketidaksabaran akan melompat ke luar.
Ayah akan tetap berkata:
"Ia hanya seorang bocah, seorang bocah kecil!"


Ayah khawatir saat membayangkan dirimu sebagai seorang pria dewasa.
Namun seperti yang kau lihat, putraku,
ayah sekarang terpuruk letih di sisi tempat tidurmu,
melihat bahwa kau memang masih sangat muda.
Masih kemarin kau berada di pelukan ibumu,
kepalamu terkulai di bahunya.
Ayah terlalu banyak menuntut, terlalu banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar